Penulis feature tentu membutuhkan imajinasi yang baik untuk menjahit kata dan kalimat menjadi cerita yang menarik. Tapi, seperti juga bentuk jurnalisme lainnya, imajinasi penulis tidak boleh mewarnai fakta dalam ceritanya.
Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature. Seorang wartawan profesional tidak akan menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar etika dan bahaya yang bakal mengancam.
Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada, kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi misalnya cerita pendek.
Feature tidak boleh berupa fiksi dan setiap pewarnaan fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan pembaca akan hancur.
Ada beberapa derajat kefiktifan yang paling mencolok ialah bila seorang membuat cerita dengan bahan yang sama sekali bikinan. Untunglah tidak banyak reporter segila itu.
Godaan paling sering terjadi ketika penulis hampir menyelesaikan tulisan yang baik, tapi ada beberapa unsur yang tertinggal. Ia mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh laporannya meramaikan cerita yang condong palsu.
Satu teknik lagi, yaitu dengan menaruh satu kalimat untuk menjadi kutipan ke mulut orang yang diwawancarai. Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah diarahkan dengan bertanya Apakah Anda... dan menunggu anggukan tanda setuju entah sungguh atau khayalan.
Wartawan yang tidak etis seperti itu memang terdapat di dunia pers, dan seperti lazimnya pembohong, mereka hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar.
Untuk kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya merupakan taruhan perjalanan kariernya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan segara kehabisan sumber berita yang bisa memberi informasi kepadanya.
Selanjutnya : Mengumpulkan Informasi Yang Tepat
Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature. Seorang wartawan profesional tidak akan menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar etika dan bahaya yang bakal mengancam.
Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada, kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi misalnya cerita pendek.
Feature tidak boleh berupa fiksi dan setiap pewarnaan fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan pembaca akan hancur.
Ada beberapa derajat kefiktifan yang paling mencolok ialah bila seorang membuat cerita dengan bahan yang sama sekali bikinan. Untunglah tidak banyak reporter segila itu.
Godaan paling sering terjadi ketika penulis hampir menyelesaikan tulisan yang baik, tapi ada beberapa unsur yang tertinggal. Ia mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh laporannya meramaikan cerita yang condong palsu.
Satu teknik lagi, yaitu dengan menaruh satu kalimat untuk menjadi kutipan ke mulut orang yang diwawancarai. Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah diarahkan dengan bertanya Apakah Anda... dan menunggu anggukan tanda setuju entah sungguh atau khayalan.
Wartawan yang tidak etis seperti itu memang terdapat di dunia pers, dan seperti lazimnya pembohong, mereka hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar.
Untuk kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya merupakan taruhan perjalanan kariernya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan segara kehabisan sumber berita yang bisa memberi informasi kepadanya.
Selanjutnya : Mengumpulkan Informasi Yang Tepat
Comments
Post a Comment