Kata-kata adalah alat pokok dalam pekerjaan ini. Bila kau tidak sengaja mengeja dengan tepat atau tidak bisa memakai kata-kata dengan efektif dan akurat, sebaiknya kau tidak masuk dalam percaturan surat kabar.
Teguran ini diucapkan seorang editor yang marah karena menemukan beberapa kata yang salah tulis dalam naskah seorang reporter. Reporter itu memegang teguh teguran itu dan, sejak saat itu, memakai kamus secara serius.
Ejaan bukan hanya latihan akademis untuk menakut-nakuti mahasiswa. Ejaan adalah satu keharusan bagi kelangsungan hidup dunia pers yang penuh persaingan.
Tidak banyak reporter yang bisa gampang ingat ejaan, memang. Tapi, kebanyakan kita tentu bisa membaca kamus. Dan sekedar membalik-balik kamus tentulah bisa dilakukan, bahkan ketika diuber deadline.
Beribu-ribu kata diproses setiap hari di meja editor. Memang, editor bertanggung jawab menyaring kesalahan pada naskah. Tapi, secara manusiawi, tidaklah mungkin ia bisa menyaring setiap kata. Karena itu seorang editor, mau tidak mau, dituntut selalu awas ketika memeriksa naskah. Ia harus selalu curiga bahwa naskah yang ia baca itu mengandung salah eja.
Bila ejaan sudah dicetak, banyak hal yang bisa terjadi dan tidak satupun yang baik. Kepercayaan pada media itu rontok. Salah cetak mengurangi citra media tersebut sebagai sesuatu yang profesional, dan membuat isinya selalu dicurigai para pembaca cerdik dan pandai. Bila koran ceroboh dalam kata-kata, bagaimana fakta-fakta di dalamnya bisa dipercayai?
Kepercayaan orang pada reporter yang bersangkutan juga luluh. Bila seorang reporter melakukan selalu salah ejaan, bisa jadi ia memang tidak cakap, tidak cocok menjadi reporter dan seorang editor bisa memindahkannya kebagian lain, atau mendepaknya.
Kesalahan pemakaian kata bisa berakibat serupa. Banyak orang salah memilih kata dalam percakapan sehari-hari, karena mereka memungut suatu kata tanpa mengetahui persis maknanya. Kesalahan dalam percakapan bisa dimaafkan dan dimaklumi, tapi segala maaf habis bila seorang reporter salah dalam menerapkan kata dalam medianya.
Editor yang menginginkan standar profesional yang tinggi mungkin akan terlalu njliment pada hal-hal sampai sekecil-kecilnya.
Kata yang dipakai secara salah bisa mengubah arti suatu cerita. Dalam sebuah tulisan yang membahas utang-piutang perusahaan, misalnya, Anda menemukan ending seperti ini: Seorang direktur perusahaan tekstil mengatakan, diakhir tahun anggaran nanti perusahaanya akan memiliki piutang yang jauh lebih besar dari pada utangnya. Itu dikarenakan tiadanya kontrol penagihan.
Andai kata piutang tertukar dengan utang bisa saja sejumlah pemegang saham perusahaan tekstil itu akan buru-buru menjual sahamnya karena perusahaan itu rugi padahal yang terjadi sebaliknya meski keuntungan itu berupa piutang. Jelas, perbedaan antara dua kata itu berpengaruh besar pada sikap para pemegang saham.
Kesalahan pemilihan kata bisa berakibat fatal. Nama baik surat kabar merosot. Nama baik reporter sendiri juga rusak. Dalam rapat pemegang saham perusahaan tekstil tersebut, baik direksi maupun pemegang saham tidak lagi punya respek besar kepada wartawan itu. Akibatnya, wartawan ini kehilangan sumber informasi.
Selanjutnya : Pemakaian Buku Pedoman
Seandainya Saya Wartawan
Comments
Post a Comment